BANDAR LAMPUNG, EDUKASI NUSANTARA POST — Tak ada yang menduga kebijakan di sektor pendidikan bisa berimbas langsung pada stabilitas harga. Lampung mencatat deflasi bulanan sebesar 1,47 persen pada Agustus 2025, salah satu yang terdalam dalam beberapa tahun terakhir. Menariknya, penyumbang utama bukan berasal dari sektor pangan atau energi, melainkan dari kebijakan penghapusan uang komite sekolah negeri.


Beban yang Selalu Menyiksa

Bagi banyak orang tua di Lampung, uang komite, SPP bulanan, hingga pungutan buku dan kegiatan ekstrakurikuler bukanlah hal sepele. Jumlahnya bisa menembus jutaan rupiah per tahun. Bahkan ada cerita, siswa yang menunggak pembayaran tertahan rapornya atau tidak menerima ijazah. Situasi ini membuat rumah tangga serasa tercekik, terutama bagi keluarga dengan penghasilan pas-pasan.

Dari sisi ekonomi, biaya pendidikan tersebut ikut menekan daya beli masyarakat dan menjadi salah satu penyumbang inflasi di kelompok jasa pendidikan.


Saat Beban Itu Dihapus

Perubahan besar terjadi pada tahun ajaran 2025/2026. Pemerintah Provinsi Lampung bersama pemerintah pusat resmi menghapus semua pungutan di SMA, SMK, dan SLB negeri. Beban yang sebelumnya dipikul orang tua kini dialihkan ke APBN dan APBD. Pemerintah provinsi menambah alokasi Rp500–600 ribu per siswa, sementara dana BOS dari pusat menjadi motor utama operasional sekolah.

Konsekuensinya, orang tua tak lagi dipusingkan oleh tagihan bulanan. Uang yang tadinya habis untuk SPP bisa dialihkan ke kebutuhan lain. Secara langsung, konsumsi rumah tangga meningkat dan tekanan inflasi berkurang.


Mengalir ke Sekolah, Kembali ke Masyarakat

Dana yang dikucurkan pemerintah tidak hanya menutup biaya rutin seperti gaji guru non-PNS, listrik, internet, atau pemeliharaan fasilitas. Buku, alat tulis, bahkan kegiatan pembelajaran dan ekstrakurikuler kini juga ditanggung negara. Seragam memang masih menjadi tanggungan orang tua, tetapi beban besar lainnya praktis lenyap.

Untuk menjamin transparansi, Gubernur Lampung merevisi peraturan yang melarang sekolah negeri memungut uang komite. Kepala sekolah yang nekat melanggar bisa dikenai sanksi tegas. Sekolah juga diwajibkan membuat laporan pertanggungjawaban yang dapat diakses publik, sementara pemerintah kabupaten dan kota diminta rutin mengawasi pelaksanaannya.


Efek Sosial Ekonomi

Dari sisi makro, efeknya nyata. Inflasi Lampung turun karena beban pendidikan di rumah tangga berkurang. Dari sisi sosial, kebijakan ini meringankan ribuan keluarga. Anak-anak yang sebelumnya terancam putus sekolah karena tak mampu membayar pungutan kini bisa belajar dengan lebih tenang.

Pemerintah menghitung alokasi hingga Rp2,5 juta per siswa di kabupaten dan Rp3,5 juta per siswa di kota per tahun. Dengan sinergi APBN dan APBD, beban daerah tidak berlebihan dan kualitas pendidikan tetap terjaga.


Tak Disangka, Berdampak Luas

Kepala Dinas Pendidikan Lampung, Thomas Amirico, mengaku tak menyangka efeknya bisa sejauh ini.
“Semula kami hanya ingin meringankan beban orang tua siswa. Tidak terpikirkan bakal bisa menekan laju inflasi. Pak Gub rupanya sudah menghitung semua,” ujarnya.

Thomas juga memastikan distribusi dana BOS berjalan sesuai aturan. “Kami pastikan dana dimanfaatkan dengan baik agar manfaatnya benar-benar dirasakan siswa,” tambahnya.


Dari Sekolah ke Perekonomian Daerah

Kebijakan penghapusan uang komite di Lampung menjadi contoh bagaimana keputusan di sektor pendidikan dapat bergema hingga ke ranah ekonomi. Rumah tangga lebih lega, daya beli meningkat, dan inflasi terkendali. Dari ruang kelas, lahir kebijakan yang ikut menstabilkan pasar.

Siapa sangka, keputusan untuk meniadakan pungutan sekolah ternyata bisa menjadi salah satu kunci menjaga kesejahteraan masyarakat.

(Red)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *