LAMPUNG SELATAN, EDUKASI NUSANTARA POST —
Persoalan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang ditemukan di Unit Pelayanan Teknis (UPT) Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) Mandah terus berlanjut. Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lampung Selatan, Rini Ariasih, terkesan melakukan manuver “buang badan” dengan mengarahkan kesalahan dan kelalaian kepada petugas di lapangan.
Diketahui, selama ini petugas UPT Puskeswan kerap menitipkan limbah B3 kepada pihak Puskesmas atau bahkan memusnahkannya sendiri.

Terkejut dan heran — begitulah gambaran awal yang dirasakan awak media saat menerima jawaban konfirmasi dan klarifikasi dari Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lampung Selatan, Rini Ariasih, pada Senin (6/10/2025).
Dalam konfirmasi yang berlangsung di ruang kerjanya, alih-alih melakukan introspeksi atas temuan limbah B3 di Puskeswan setempat, Rini Ariasih justru menyalahkan petugas Puskeswan.
“Kami pelayan publik, tidak anti kritik. Terkait persoalan kemarin, saya konfirmasi dulu kepada KUPT saya. Kita tidak pungkiri bahwa itu kelalaian dari petugas kami di Puskeswan,” ujarnya.
Selanjutnya, Rini Ariasih melakukan pembelaan dengan menyebut bahwa dirinya selalu mengingatkan pihak Puskeswan tentang bahaya dan cara penanganan limbah B3 dalam setiap rapat koordinasi (Rakor).
Tidak berhenti di situ, Rini juga melakukan blunder dengan menyampaikan bahwa selama ini petugas Puskeswan kerap menitipkan limbah B3 kepada pihak Puskesmas terdekat. Menurutnya, limbah B3 yang dihasilkan Puskeswan tidak sebanyak yang ada di Puskesmas.
Rini menambahkan, petugas di Puskeswan juga mengatasi limbah B3 secara mandiri dengan cara dibakar atau dihancurkan.

“Kita menyadari bahwa itu kelalaian petugas kami di Puskeswan, walaupun di setiap Rakor saya sudah mengingatkan. Karena begini, untuk limbah B3 — apakah itu jarum suntik atau botol — kalau di Dinas Peternakan tidak seperti di Dinas Kesehatan, secara volume memang tidak banyak. Selama ini teman-teman petugas bisa mengatasi limbah mereka: mereka kumpulkan, ada yang dititipkan kepada kolega atau saudara yang bertugas di nakes, ada juga yang disimpan. Kalau bahan plastik bisa dibakar, kalau botol bisa dihancurkan, kalau jarum suntik dimasukkan ke botol lalu dihancurkan. Bahkan saya sudah membuat surat kepada UPT terkait limbah tersebut, karena memang sudah ada aturannya, jadi tidak sembarangan,” ungkapnya.
Keterkejutan kembali muncul ketika Rini menyampaikan bahwa pengelolaan limbah B3 di Puskeswan sebenarnya sudah dibahas sejak tahun 2024 dan baru akan direalisasikan pada tahun 2026. Artinya, sejak Kabupaten Lampung Selatan berdiri, pengelolaan limbah B3 di Puskeswan memang tidak pernah menjadi fokus utama.
Sayangnya, pembelaan Rini Ariasih justru menunjukkan kesan ketidakseriusan Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan, khususnya Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, dalam menangani limbah B3 hasil kegiatan UPT Puskeswan.
Sementara itu, menurut keterangan ahli, perintah agar petugas Puskeswan menitipkan limbah B3 kepada pihak Puskesmas—baik kepada teman maupun saudara yang bekerja di sana—merupakan kesalahan fatal. Langkah tersebut tidak hanya membebani pihak Puskesmas, tetapi juga secara tidak langsung menipu pihak ketiga yang bekerja sama dengan Dinas Kesehatan dalam proses pengangkutan dan pengelolaan limbah B3.
Lebih parah lagi, membiarkan petugas Puskeswan memusnahkan sendiri limbah B3 merupakan pelanggaran berat. Hanya pihak yang memiliki izin resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup yang diperbolehkan memusnahkan limbah B3, dan itu pun harus melalui tahapan serta mekanisme yang diatur dengan ketat.
Dalam berita sebelumnya, pakar kesehatan lingkungan Provinsi Lampung menjelaskan bahwa regulasi mengenai limbah medis sudah sangat tegas.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 101 Tahun 2014 menyebutkan bahwa limbah medis termasuk kategori B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang wajib ditangani dengan prosedur khusus.
Selain itu, Permenkes No. 18 Tahun 2020 menegaskan bahwa setiap fasilitas kesehatan, termasuk Puskeswan, wajib menyerahkan limbah medis kepada pihak ketiga berizin atau menggunakan insinerator berstandar lingkungan.
Lebih jauh, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa kelalaian atau kesengajaan membuang limbah B3 sembarangan dapat berujung pidana. Pasal 104 UU tersebut menyebutkan ancaman hukuman penjara hingga 3 tahun dan denda maksimal Rp3 miliar.
Lalu, benarkah pada tahun 2024 telah ada pembahasan terkait persoalan ini?
Apa tanggapan dari orang nomor satu di Lampung Selatan?
Dan apakah pelanggaran ini akan dilaporkan kepada pihak berwenang?
Tunggu rilis selanjutnya.
(NELSON)